Prof. Siusana : Jangan Sampai Keliru Mendidik

Sudah lama sekali aku tidak menulis pada blog ini karena kesibukan sebagai guru, wali kelas dan tugas yang baru sebagai koordinator sarana-prasarana yang sangat begitu menyita waktu. Penunjukkan koordinator yang begitu mendadak menjadikan harus siap bekerja ekstra, bagaimana tidak sistem manajemen mutu atau ISO mulai diberlakukan disekolah tempatku mengajar. Maka mau tidak mau tugas-tugas tersebut harus diberikan perhatian yang sama. Namun yang menjadi pertanyaan besar dalam benakku adalah apakah semua itu dapat dicapai dengan maksimal. Sebagai guru tugas utama adalah mengajar materi dan itu harus dilaksanakan dengan baik dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku dari kurikulum yang ditetapkan, antara lain dengan membuat perangkat-perangkat mengajar yang tentunya juga harus diberikan perhatian yang lebih. Agar siswa dapat memperoleh pendidikan yang sesuai siswa harapkan. Belum selesai aku berpikir bagaimana mengatur porsi kerja yang tepat agar semua dapat dikerjakan muncul lagi kerjaan baru, akreditasi sekolah. Maka terpecah lagi konsentrasiku. Hmm untung masih ada waktu untuk meredam semua itu dengan bermain futsal dengan rekan-rekan seprofesi, lumayan walau sejenak namun otak ini bisa fresh. Beberapa hari yang lalu otakku juga semakin fresh mendengarkan pemateri saat mengikuti pelatihan penyusunan kurikulum. Acara dibuka oleh pengawas sekolah ibu Asmiati, M.Pd yang memberikan gambaran bagaimana menyusun kurikulum menurut standar pemerintah. Kemudian dilanjutkan oleh Prof. Dr. Siusana Kwelju penerima Piagam Unesco-Apeciu untuk Pendidikan Perdamaian dari Universitas Negeri Malang. Kata-katanya begitu menyejukan, bagaimana orang sehebat itu mengatakan bahwa dibanding dengan guru-guru ia tidak ada apa-apanya. Sungguh kata pembukaan yang bagus, kemudian ia mengatakan bahwa pendidikan di negara kita kurang tepat, karena target yang harus dicapai adalah nilai yang berupa angka-angka. Dimana siswa yang nilainya tidak sesuai standar dikatakan gagal. Jumlah mata pelajaran yang ditetapkan sangat tidak mengakomadasi kecerdasan-kecerdasan lain yang dimiliki siswa. Siswa yang pandai melukis, menari, menyanyi, olahraga, komputer, menulis dan lain-lain, sebagian besar waktunya tercurah untuk pelajaran-palajaran seperti matematika, fisika, kimia sehingga tidak ada waktu untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainnya. Maka sang profesor menegaskan sekarang ini sangat sulit untuk menciptakan generasi-generasi seperti Bethoven, Mozart, Thomas Alfa Edison, James Watt, Galileo dan orang hebat lainnya karena semua pendidikan selalu seragam dan tidak menyentuh individu-individu yang memiliki kecerdasan lain. Sungguh, setelah mendengarkan materinya membuka wawasanku. Memang siswa itu tidak ada yang bodoh, mereka diciptakan berbeda dan memiliki kemampuan yang berbeda pula. Mereka dapat menjadi orang-orang hebat jika mereka mendapat bimbingan yang benar. Tentunya para pembimbingnya juga mendapat perhatian yang lebih dari lembaga. "Sinergi-seiring untuk membentuk generasi harapan".

Post a Comment

Terima kasih atas komennya

Previous Post Next Post